-->

Entri yang Diunggulkan

NILAI MATEMATIKA YANG MASIH KURANG KELAS 8A DAN 8B

  Perhatikan nama-nama berikut.  Nama-nama di atas BELUM mencapai nilai yang memuaskan berdasarkan perhitungan nilai Tugas, STS dan SAS . Si...

SEBATAS MEMORI

SEBATAS MEMORI

Beberapa kali suara roda yang menggilas lantai keramik memenuhi pendengaranku. Suara berirama sama telah melintas sebanyak puluhan kali di sekitar  kursi tunggu yang Aku duduki. Roda-roda itu membawa tumpukan koper dengan berbagai ukuran. Besar, sedang ataupun  kecil. Berbagai merek telah berlalu lalang dan Aku memandangnya dalam diam. Orang-orang telah berlalu dengan kesibukan mereka masing-masing. Seperti yang dilakukan Wanita cantik yang sibuk mengoceh dengan handphone yang melekat di telinga kanannya. Ataupun pada remaja laki-laki yang sedang mendorong troli, tidak jauh dari Wanita cantik itu. Mengeser pandangan sedikit, rasanya ingin tertawa namun Aku tahan. Disana, ada sepasang Manula yang berusaha merapatkan jaketnya. Berusaha mendapatkan kehangatan namun tidak berhasil. Si Nenek menggigil kedinginan sementara si Kakek lebih banyak bersin. Seseorang seharusnya mengingatkan Kakek Nenek itu agar tidak duduk di depan blower kataku dalam hati.  Ujung bibirku tertarik keatas. Namun sebelum membentuk senyuman yang sempurna, lengkungan itu sekejap memudar. Dan Aku bisa meresakan dingin dari blower itu menerpa tubuhku. Dingin sekali. Apa Aku telah mendapatkan karma?, Aku rasa iya.
    Tidak ada sosok Kakek Nenek. Bukan Mereka beranjak dari kursinya, namun Seseorang telah menutupi mereka dari pandanganku. Setidaknya itulah yang terjadi saat tubuh yang berbalut seragam abu-abu berdiri di depan, dimana Aku duduk. Siswa Laki-Laki dengan tinggi 160 cm, telah berdiri menjulang sambil menyampirkan tas ranselnya dibahu. Bisa kurasakan dingin itu menyebar pada seluruh tubuhku saat mengetahui siapa siswa  itu. Salah-satu dari 20 orang teman perjalananku. Tahu orangnya namun belum tahu namanya. Ia adalah seseorang yang pernah menolongku beberapa minggu lalu.
    “Kenapa?” Aku mencoba bertanya. Berusaha tenang meskipun Aku gugup sekali. Lihatlah, bahkan tanganku sibuk meremas dan menyakiti satu sama lain. Ini mememalukan. Semoga ia tidak melihatnya, Aku berdoa dalam hati.
    “Bisakah Kau menyimpan ini untukku?” ia terdiam cukup lama sebelum permintaan itu terlontar. Tangannya menyerahkan selembar kertas yang tampak familiar olehku.  Piagam penghargaan. Alisku mengkerut menatap piagam itu dan masih enggan mengambilnya. Aku kebingungan, okey!. Aku dan Dia bukan teman. Kami hanya sebatas kenal. Itupun terjadi kerena Kami pernah berangkat bersama dalam mengikuti lomba SAINS tingkat kabupaten. Ia menawarkan tumpangan saat aku kebingungan mencari tumpangan. Jika tidak ada tawaran itu, mungkin Aku tidak tahu jika Dia ada. Miris, namun begitulah kenyataannya.
    Aku kembali menatap piagam itu dengan wajah absurd. Ini terlihat konyol, bolehkah Aku meringis gumamku dalam hati. Ingin bertanya kenapa, tetapi Aku hanya diam. Sial, dimana suaraku?
    “Tasku penuh. Dan tampaknya tasmu terlihat lebar dan cukup longgar” Aku memperhatikan tas yang Ia bawa kemudian membandingkan dengan punyaku. Tasnya sesak dan penuh. Dan tas coklatku seperti yang Ia katakan. Aku menimbang-nimbang, tak lama kemudian mengangguk kaku-kaku pertanda setuju dan kemudian mengambilnya.  
    “Terimakasih” katanya sebelum berlalu. Aku memperhatikan Ia berjalan kearah teman-temannya yang sedang berkumpul. Beberapa dari Mereka mengambil jurusan yang sama dengannya dan  sebagian lagi berasal  dari sekolah lain. Meskipun berbeda kelas dan sekolah, Mereka cepat akrab satu sama lain. Terbukti dari guyonan yang dilanjutkan dengan  derai tawa yang samar-samar terdengar oleh telingaku. Mungkin karena anak laki-laki. Aku menghela nafas panjang sambil mengarahkan pandangan kesekeliling ruangan. Memperhatikan tiga orang remaja putri dari rombonganku yang tampak berdiskusi dan beberapa orang lainnya sibuk dengan kegiatan masing-masing sama sepertiku.
    “Aish.. Tapi kenapa harus Aku?” Aku menggeram pelan. Tak habis pikir dengan apa yang di pikirkan siswa itu. Terus menggerutu saat memasukkan piagam itu dengan hati-hati  kedalam tas.  Tak ingin membuat kertas berharga itu lecek  apalagi rusak. Ketika seruan dari petugas bandara bahwa pesawat yang di tumpangi rombonganku akan segera lepas landas, sebuah pemikiran terlintas di benakku dan membuatku lebih tenang.  Anggap saja sebagai balas budi atas bantuan sebelumnya. Akupun beranjak dari kursi nyaman yang telah Aku duduki sejak dua jam lalu.
*** 
    Bandara Ahmad Yani adalah tempat pertama yang Aku pijak ketika tiba di kota Semarang. Tidak ada hal yang berbeda jika di bandingkan dengan bandara Syamsudinnor. Fasilitas pelayanan yang di tawarkan kepada penumpang, sama. Yang kelihatan berbeda hanya terletak pada seberapa luas bangunan ini berdiri kokoh dengan bentuk khasnya. Mengamati lebih jauh, decak kagum tidak dapat terhindarkan. Melihat bagaimana pegawai bandara yang Aku temui melakukan pekerjaannya dengan professional sesuai dengan tugasnya masing-masing. Senyum dan tutur kata ramah yang Mereka lakukan membuat para penumpang merasakan kenyamanan.
    Aku berjalan di barisan paling akhir rombongan. Mengamati teman di barisan paling depan yang sedang berdiskusi dengan pendamping Kami. Tidak mendengar apa yang mereka bicarakan karena jarak yang jauh. Namun jika melihat dari raut wajah yang Mereka tampilkan, kelihatannya merupakan pembicaraan yang serius. Aku mempercepat langkah dengan melewati beberapa orang untuk bisa berjalan beriringan dengan Windi, temanku dari jurusan IPS.
    “Apa ada masalah?” Aku berbisik pada Windi ketika kami telah berjalan beriringan.
    “Ya. Kita belum mendapatkan tempat untuk menginap, begitulah yang Aku dengar”
   “Kenapa dengan penginapan sebelumnya?” Aku kembali bertanya yang membuat Windi sedikit berfikir.
    “Aku tidak yakin” gumam Windi “ Kata Pak Yusuf terjadi kesalahpahaman. Pihak penginapan menginformasikan bahwa pesanan Kita dibatalkan sebelumnya. Dan sekarang Beliau menunggu instruksi dari pihak Dinas ” kata Windi menjelaskan.
      “Oh…” sejenak terjadi keheningan diantara Kami sebelum Windi kembali berbicara.
   “By the way… Senang lho melihatmu bisa ikut dalam tour ini” Windi menampilkan senyum tulusnya ke arahku.
      “Ya?”
    “Sebelumnya Kamu bilang tidak bisa ikut karena sakit. Melihatmu sekarang, sepertinya sudah baikan”
      “Oh, itu.... Tidak ada yang serius kok. Hanya sakit karena kelelahan. Sekarang sudah tidak apa-apa” Kami terus berjalan meninggalkan bandara menuju lahan parkir. Menghampiri bus berwarna putih yang telah menunggu bersama dengan sopirnya. Disamping pintu bus Pak Yusuf selaku pendamping rombongan melambaikan tangannya mengintruksikan kepada Kami untuk segera  bergegas. Beberapa orang telah berlari mengikuti instruksi beliau, bahkan Windi telah mempercepat langkahnya dan meninggalkan Aku di belakang.
*** 
    Pandangan belasan pasang mata menyerangku sesaat setelah Aku melewati pintu bus. Dari pandangan itu Aku mengerti. Aku adalah orang terakhir yang memasuki bus. Sebenarnya Aku tidak terlalu suka menjadi pusat perhatian namun apa yang Aku lakukan ini telah mengakibatkan hal yang sebaliknya. Menjadi pusat perhatian. Namun jika dipikirkan lagi akan lebih merepotkan jika harus berdesak-desakan di pintu bus karena tidak ingin ketinggalan. Dan Aku adalah tipe pengalah yang mendahulukan orang lain dari pada urusan diri sendiri jika tidak terdesak. Sehingga berakhirlah seperti ini. Berjalan seorang diri di lorong bus dengan di ikuti beberapa pasang mata. Aku menghela nafas pelan dan berusaha keras untuk tidak meringis.
     Mengabaikan pandangan beberapa pasang mata itu, Aku menjelajah mencari bangku yang kosong. Di ujung kanan bagian dalam bus, Windi melambaikan tangannya antusias. Ia telah duduk dengan nyaman dengan seseorang, yang entah siapa namanya. Aku membalas lambaian itu dengan anggukan. Mengerti jika lambaian itu bukan ajakan untuk duduk bersama. Kembali menjelajah sampai menemukan bangku kosong yang jaraknya lima langkah dari tempatku berdiri. Melangkah mendekat sambil memperhatikan orang-orang yang duduk di sekitarku. Dan sekali lagi harus menahan ringisan saat melihat siapa yang duduk di belakang barisan kursiku. Sial, Kenapa harus bertemu lagi? Dan sekali lagi Aku kembali menggerutu.
*** 
    “Maaf, boleh Aku duduk di sini” Aku berkata dengan mempertebal muka kepada seorang Siswi yang duduk di dekat jendela, teman sebangku.
   “Ya” Siswi itu mempersilahkan sambil membereskan barang-barangnya yang di letakkan di atas bangku yang akan Aku duduki. Aku menggumamkan terimakasih sebelum bersiap-siap duduk dengan nyaman.
    Sebenarnya mempertebal muka bukan di tunjukkan untuk siswi itu, melainkan pada seseorang yang duduk tepat di belakangnya. Seseorang yang sebisa mungkin Aku hindari. Salah satu orang masih  memperhatikanku sejak memasuki bus. Seseorang yang berusaha Aku acuhkan. Dia adalah laki-laki yang beberapa jam lalu meminta bantuanku. Siswa ‘tanpa nama’, Aku menjuluki Dia  dengan panggilan itu sekarang. Semoga tidak terlihat lebih konyol lagi, Aku mulai merenung.  
   “Selamat siang Anak-Anak” suara keibuan menyadarkanku pada lamunan singkat. Di sana, di belakang supir bus. Seorang Ibu paruh baya yang dibalut dengan baju sasirangan berwarna hijau dengan bawahan rok hitam, berdiri dengan menggunakan pengeras suara. Pak Yusuf dengan mengenakan pakaian yang serupa menemani Ibu itu dengan berdiri disamping kanannya. Setelah mendapatkan sapaan dan perhatian dari kami, Ibu itu kembali berkata.
    “Pertama-tama perkenalkan, nama Saya Ibu Eni dan Bapak Yusuf yang berdiri di samping Saya. Kami berdua selaku pendamping dan pembimbing dalam tour sejarah ini” Ibu Eni mulai memperkenalkan diri.
    “Perlu Kalian ketahui bahwa tour kali merupakan tour yang spesial. Kenapa Kami menyebutkan seperti itu, kerena Peserta dari event ini merupakan orang-orang pilihan. Kalian yang memiliki prestasi adalah syarat utamanya. Event ini merupakan wujud apresiasi Pemerintah Kabupaten pada para pemenang lomba SAINS tingkat SMA/MAN Se-Kabupaten. Dimaksudkan agar selain dijadikan sebagai hiburan juga dapat dijadikan sarana Pendidikan terutama di bidang Sejarah.” Ibu Eni mulai menyampaikan pidatonya.
   “Kami selaku perwakilan dari Dinas Pendidikan Kabupaten TALA mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya untuk antusias dan prestasi yang kalian peroleh. Kami berharap kalian mampu mempertahankan prestasi itu dan mencapai prestasi-prestasi lainnya di kemudian hari” terjadi jeda saat manik mata Ibu Eni menjelajah seisi bus yang terdiam mendengarkan pidato Beliau. Ucapan tulus seperti ini yang membuat kami sebagai peserta didik merasa di perhatikan oleh Pemerintah setempat.
   “… Dan dengan ini, tour Sejarah di kota Semarang Kami nyatakan dimulai” penutup itu menjadi lonceng pembuka berbagai tepukan dan sorai-sorai bahagia.
                                                                       ***
    Hening yang melanda menggangguku ketika bosan memandang jendela bus yang masih melaju. Sebagai tempat asing yang baru pertama kali Aku temui, mengucapkan kata ‘bosan’ akan menggelitik telinga. Namun ini sudah yang ketiga kalinya Aku melihat SPBU yang  sama di jalan Pemuda dan menjadi keempat kalinya memutari bundaran air mancur jika bus ini tetap melaju kearah timur. Dalam bus ini kami hanya melakukan perjalanan memutar-mutar. Entah teman yang lain menyadarinya atau tidak, Aku hanya berharap semoga Pak Yusuf segera memperoleh tempat penginapan untuk Kami beristirahat. Semua orang tampak kelelahan dalam perjalanan ini. Bahkan di depan sana tidak jauh dari tempatku duduk, ada sebuah kepala yang terantuk-antuk kesamping karena pemiliknya tidak mampu menahan kantuk.
   Ujung mataku menatap Siswi yang duduk di sampingku. Sejak ia mengijinkan Aku duduk di sebelahnya, Kami belum bertegur sapa lagi. Sebenarnya tidak enak juga mendiami seseorang, namun Siswi itu serius sekali membaca novel setelah pidato Ibu Eni berakhir. Dan Aku tidak ingin mengganggu.
     Aku terus memperhatikan siswi itu yang membalik halaman novelnya. Fokus mata dan telinganya bagus sekali. Kedua bagian tubuh itu tidak terusik oleh keributan sekitar, seperti  apa yang kini Aku lakukan. Kulit wajahnya putih dan mulus, tidak ada jerawat. Dan astaga, bulu matanya lentik sekali.
    “Oh… Maaf” Aku terkesiap saat manik matanya memandang kearahku. Sepertinya Aku  ketahuan telah memandanginya lama. Tapi, dia cantik sekali. 
    “Aya, dari Pelaihari. Kamu?” memperkenalkan diri sambil melemparkan senyum kaku kearahnya. Sesaat Aku bisa melihat wajah konyolku yang terbias di kaca jendela saat bus melaju di bawah rindangnya pohon.
    “Ah.. Tidak apa-apa. Aku Annisa dari Bati-Bati” Ia tersenyum sambil mengulurkan tangannya. Aku menyambutnya dengan suka cita. Teman baru. 
    “Bati-bati?. Tunggu!” Aku mencoba mencerna apa yang Ia katakana sebelum berucap “Jadi Kamu ke Pelaihari terlebih dahulu?. Itu jauh sekali dan terlihat memutar jika itu benar.   Kenapa tidak menunggu di Sekolah saja? Bukankah tadi melewatinya?” menyerangnya dengan banyak pertannyaan. Namun ia hanya tertawa pelan. Aku menjadi bingung sekaligus penasaran.
    “Upacara Pembukaan di Kantor Dinas Pendidikan. Ingat?”
    “Oh… Aku melupakan hal itu” Aku bergumam.
  “Saat lomba, Kamu mengambil bidang apa?” seorang siswa yang duduk di belakangku ikut bergabung dalam obrolan. Aku terkejut, tidak menyangka jika percakapan konyolku di mendapatkan perhatian orang. Meskipun pertanyaan itu bukan di tunjukan kepadaku melainkan pada Annisa.
    “Fisika” 
   “Oh… Benarkah? Sama dong. Aku juga mengambil fisika ” siswa itu berseru antusias. Aku enggan menyela, hanya memperhatikan mereka berbicara.
    “Juara keberapa?” Aku menoleh pada suara siswa yang terdengar familiar. Meskipun pertanyaan itu lagi-lagi bukan ditujukan untukku. Di sana, siswa ‘tanpa nama’ memandang Annisa  sama antusias dengan teman di sebelahnya. Aku berusaha untuk tidak memutar kedua mataku atas aksi Mereka.
   “Satu” Annisa menjawab dengan malu. Aku juga akan berperilaku sama jika mendapatkan perhatian berlebihan seperti itu. Perempuan mana yang tebal muka, coba.
    “Apa?” aku bertanya pada siswa ‘tanpa nama’. Dia memandangiku lama dengan ekspresi anehnya. Aku risih di pandangi seperti itu. Apakah aku telah melewatkan sesuatu?
   “Kau mau?” ia menyodorkan sebuah bungkusan kecil yang di letakkan di atas telapak tangannya. Aku mengerutkan alis heran. Melirik ke depan, dimana Anisa telah memegang bungkusan kecil yang serupa. Bahkan siswa yang duduk di belakangku telah menelan isi bungkusan itu di dalam mulutnya. Aku mengambil permen itu tanpa ragu. Setelah mengambilnya, kedua mataku seketika melebar. Aku tajamkan pandangan  mataku pada siswa ‘tanpa nama’ yang kini berusaha menahan tawanya. Annisa dan siswa di belakangku memperhatikan kami dengan heran dan tidak mengerti. Namun setelah tahu apa yang aku lempar pada siswa ‘tanpa nama’ itu, kikik geli mereka mengalun bersambut oleh tawa keras seseorang yang kini aku plototi. Bungkusan tanpa isi. Permen kosong. Bagus sekali geramku dalam hati.
***
    Suara Azhan Isya selesai berkumandang ketika pintu kamar mandi terbuka dan menampilkan wajah segar Windi. Tidak ada lelah yang tergambar diwajahnya karena air shower telah melarutkan rasa lelah itu.
    Masih segar dalam ingatanku, bagaimana kacaunya wajah Kami saat tiba di Asrama Haji Manyaran. Dua jam dalam bus dan di tambah lama perjalanan sebelumnya menjadikan Kami seperti zombie. Pucat kelelahan. Dan saat bus berhenti di penginapan, Kami semua meliar. Menyerbu keluar dan meminta Pak Yusuf membagikan kunci kamar dengan segera. Setelah itu berlari pontang panting menuju kamar untuk merasakan empuknya merebah diatas ranjang. Seperti yang Aku lakukan saat ini.
     Di dalam kamar asrama, terdapat dua buah ranjang dan di fasilitasi dengan satu buah kamar mandi. Tidak ada benda elektronik seperti televisi ataupun radio sebagai hiburan. Hanya tersedia beberapa prabot, yakni dua buah lemari dan satu set meja rias.
    Aku masih merebah ketika Windi duduk di ujung ranjang yang kosong. Ia sibuk mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk kecil berwarna biru.
   “Dimana yang lain?” Windi bertanya ketika menyadari hanya Kami berdua di kamar ini. Sebenarnya tidak hanya Windi dan Aku penghuni kamar ini. Masih ada dua penghuni lainnya, yakni Lisa dan Fauziah yang entah menghilang kemana.
   “Entahlah. Mereka tidak bilang mau pergi kemana” jawabku “Wah… Ini nyaman sekali” Aku mengerang keenakan saat meluruskan badan. Karena kelelahan, hal yang sederhana menjadi hal luar biasa. Windi tersenyum memperhatikan apa yang Aku lakukan kemudian menirunya.
    “Benar, ini enak sekali” ia berseru kegirangan. Lalu Kami tertawa atas hal konyol yang baru Kami lakukan. Dan baru berhenti tertawa saat seseorang membuka pintu kamar. Lisa berdiri di depan pintu.
      “Kalian sudah selesai mandi?” Lisa bertanya.
      “Ya. Ada apa?” Jawab Windi yang diakhiri dengan pertanyaan.
      “Aku, Fauziah dan yang lainnya berencana keluar untuk mencari cemilan. Apa Kalian mau ikut?” Windi memandangku untuk meminta pendapat. Aku hanya mengangguk mengiyakan.
       “Baiklah. Kami akan bersiap” seru Windi.
    “Kami tunggu diluar” setelah Lisa meninggalkan kamar. Kami mempersiapkan diri secepat mungkin dan serapi mungkin. Bergegas agar Lisa dan teman yang lainnya tidak lama menunggu.
***
     Udara malam di kota Semarang lebih dingin dari dugaanku. Sweter abu-abu yang Aku kenakan belum mampu menghangatkan tubuhku. Tak sekali Aku merapatkannya ketubuh guna memperoleh kehangatan, namun berakhir sia-sia. Berhenti mencoba kemudian mencari kegiatan lain. Mengamati daerah sekitar kelihatannya tidak terlalu buruk. Aku mencari sosok teman-temanku yang beberapa saat lalu memasuki langgar bercat hijau, tempat beribadah umat islam. Aku tersenyum ketika menemukan mereka yang kini sedang berwudhu.
    Setelah mencari cemilan, Fauziah mengusulkan untuk Salat Isya di langgar yang masih dalam lingkungan Asrama Haji. Mereka semua setuju atas usulan itu. Aku juga seorang muslimah. Kenapa Aku tidak ikut memasuki Langgar?. Karena ada saat, dimana seorang muslimah tidak diperbolehkan memasuki tempat ibadah, Masjid atau Langgar dan harus berpuas diri berada di luar seperti apa yang kini Aku lakukan. Berdiri seorang diri di bawah rindang pohon. Sebenarnya menyeramkan harus berdiri sendirian tapi tidak apa-apa jika menunggu sebentar. Toh berapa lama sih orang Salat.
    Aku masih mengamati  teman-temanku yang kini hendak mengambil tempat dan bersiap memulai Salat. Mereka dapat Aku lihat dengan mudah karena bagian depan langgar sebagian besar terbuat dari kaca tembus pandang. Dan saat menggeser arah pandangan ke arah kiri sedikit, kedua mataku terpaku. Terpaku pada objek yang berdiri tepat di bawah lampu hias langgar. Sebaris orang yang sedang melakukan Takbiratul ihram, dan hanya satu orang yang kupandangi. Pada sebuah punggung yang Aku ketahui pasti milik siapa.
***  
    Debaran jantungku masih terasa dengan jelas. Bahkan saat padangan mataku melarikan diri dari puggung itu menuju langit malam. Tidak ada yang berubah. Masih sama. Aku mendesis mendengar suara degub jantungku sendiri. Dengungannya membuatku gemetar dan tanpa sadar membuat kedua tanganku mengepal.
   “Kau sendirian?” sapaan itu membuatku tersentak dan mundur selangkah ke belakang. Sempat tersandung pada sebuah akar tungang, namun tak membuatku oleng ataupun terjatuh. Sedikit meringis saat merasakan perih. Bisa Aku rasakan ada luka gores akibat bergesekan dengan kulit kayu Entah di bagian mana dari kakiku.
    “Ya” aku memfokuskan pandangan pada seseorang yang barusaja bertanya. Tak jauh dariku, Yadi berdiri dengan segerombolan temannya.
    “Kau tidak apa-apa?” Yadi kembali bertanya. Aku melirik sebentar kearah teman-temannya yang memperhatikan percakapan Kami. Saat beradu pandang dengan salah Seorang dari Mereka. Kualihkan pandangan mataku kearah Yadi secepat mungkin.
   “Ya, tidak apa-apa. Hanya sedikit terkejut” Jawabku yang membuat Yadi menganggukkan kepalanya tanda mengerti. Aku dan Yadi adalah tetangga. Kami tidak cukup akrab untuk saling mengobrol. Dan Aku cukup terkejut mendapatinya berada disini dan memulai percakapan terlebih dahulu. 
   “Ngomong-ngomong, Kau sedang nunggu siapa?” Yadi kembali bertanya sambil celingukan kebelakang, berharap menemukan Seseorang yang Aku tunggu.
      “Teman-temanku. Mereka masih ada di dalam” jelasku.
   “Oh… Kalau begitu, kami pamit pergi. Hati-hati ya…!” Aku mengangguk membalas sapaan pamitnya. Mereka berlalu tak lama kemudian. Saat itu juga Windi, Lisa, Fauziah dan yang lainnya keluar dari langgar. Mereka berjalan kearahku, Aku tersenyum kearah mereka. Namun senyum itu tak bertahan lama saat Aku mendengar gerutuan samar-samar dari Seseorang.
      “Berdiri di bawah pohon. Seperti hantu saja.
    Menatap ke arah Yadi dan temannya pergi, yang Aku dapati hanyalah punggung mereka yang berjalan menjauh. Namun punggung dan suara itu tidak mungkin Aku lupa. Aku mengepalkan tangan dengan erat. Jantungku tidak hanya berdebar namun juga berdenyut sakit. Kenapa?. Bahkan sampai Windi menarik tanganku, Aku tidak bisa menemukan jawabannya.
*** 
Ketika tiba dikamar, Aku bergegas menuju lemari yang menyimpan tas coklatku. Mengeluarkan tas itu dari lemari dan melemparnya di atas ranjang. Lemparan kasar yang membuatku cukup terkejut. Aku melirik Windi, Lisa dan Fauziah yang sedang duduk lesehan dilantai. Menikmati cemilan yang baru saja Mereka beli sambil bercakap-cakap. Mengelus dada pelan, bersyukur karena meleka tidak melihat kekonyolan yang Aku lakukan, yakni melempar barang.
Meraih kembali tas yang sebelumnya Aku lempar dan menepatkannya di atas pangkuan. Kemudian tanganku membuka resleting paling belakang untuk mememukan dua lembar kertas berdisain khusus. Piagam penghargaan. Aku mengeluarkan piagam itu secara perlahan. Mengamati lembar pertama yang bertuliskan namaku. Pada lembar selanjutnya, tertuliskan nama seseorang. Fathul. Juara 2 lomba Matematika. Aku pikir, Aku akan berteriak memaki pada pemilik nama ini. Namun setelah mengetahui nama pemilik punggung itu, amarahku mereda dan digantikan dengan degub jantung yang tak biasa.
“… Fathul ya? Dia orangnya memang seperti itu. Pelawaknya di kelas Kami. Orang yang paling susah menanggalkan jaket, bahkan di cuaca panas sekalipun. Kami saja yang melihatnya kegerahan” tiba-tiba suara Lisa terdengar oleh telingaku. Bisa Aku rasakan degub jantungku yang meliar mendengar nama itu di sebut. Kenapa?. Aku kembali bertanya dalam hati.
***
Ada yang bilang bahwa setiap menghela nafas akan menghilangkan satu persatu kebahagiaan. Tak pernah terfikir jika perkataan itu benar, namun setelah membuka pintu kamar mandi untuk keluar. Aku rasa pepatah itu memang benar.
Bangun dari tidur tidak akan pernah merasa baik jika sebelum memejamkan mata Kita terlalu keras berfikir. Berfikir tentang apa yang terjadi sebelumnya. Kenapa hal tersebut bisa terjadi. Bahkan setelah membuka mata, Kita akan berfikir bahwa itu hanya mimpi.  Mimpi yang terlalu mustahil untuk menjadi kenyataan. Namun jika itu memang benar, bahwa semua yang terjadi malam kemarin, tentang apa yang Aku lihat dan Aku rasakan telah terjadi. Artinya Aku tidak benar-benar tertidur.
Menatap dua objek yang berdiri menghalangi pintu, Aku merasa kebahagiaanku telah melayang-layang di udara dan bersiap pergi. Tak ingin terkejut, namun Aku telah berjengit kaget. Sebagian besar dari hatiku berharap bahwa Aku melakukan sleepwalking. Bermimpi menuju kamar mandi untuk membasuh tubuh, kemudian di tengah jalan di sadarkan oleh seseorang. Namun setelah melihat mata panda di cermin kamar mandi dan merasakan air yang bergerak turun di bagian tengkukku, apa yang Aku lihat adalah kenyataan. Annisa dan Fathul yang berdiri berdekatan. Terlihat seperti potret berbingkai pintu. Dua kata, mereka serasi.
Mereka membicarakan sesuatu yang tidak Aku mengerti. Aku yang seperti patung ini bahkan tidak mengganggu pembicaraan mereka. Menghela nafas, Aku berdehem pelan. Deheman itu membuat Mereka tersadar dan membuat Annisa bertingkah kikuk. Sedangkan Fathul bereaksi kaget dengan berlebihan yang tidak Aku mengerti. Entah kaget karena terpergok olehku karena berduaan dengan Annisa atau mengetahui seberapa dekatnya jarak Kami berdua. Entahlah.
Aku masih berdiri dalam diam. Tak berniat untuk bersuara, ataupun meminta Mereka untuk bergeser memberiku jalan. Malas rasanya. Bahkan Aku tak berniat menatap mereka lebih jauh. Lebih senang menatap objek di balik bahu Fathul. Pada gadis bermata panda yang terpantul pada cermin lemari. Sosok yang menyedihkan, yakni Aku. Kelihatannya Fathul mengerti dengan aksi diamku. Dia mulai bergeser tanpa berkata apa-apa dan Aku berlalu tanpa perlu mereka pinta.
Mengambil langkah lebar, Aku mulai menuju ke samping ranjang. Membelakangi Mereka yang masih berdiri di depan pintu kamar mandi. Kedua tanganku melipat handuk putih dengan asal. Saat berusaha memasukan handuk tersebut kedalam tas, apa yang di katakana Annisa membuat tanganku berhenti.
“…Jadi Kamu setujukan?. Baiklah, Aku tunggu di bawah” Tanganku beralih mencengkram sebagian handuk yang belum masuk dalam tas coklat bersamaan dengan bedebam pintu kamar mandi yang tertutup.
“Maaf ya jika Fathul membuatmu terkejut. Katanya kran air di kamar mandi Mereka macet. Makanya Dia menumpang di sini, kamar yang lebih dekat” jika ada yang ingin Aku ketahui dari pembicaraan mereka. Bukan alasan seperti ini yang ingin Aku dengar. 
***
Tour Sejarah benar-benar dimulai ketika Kami mengunjungi Lawang semu. Salah satu destinasi objek wisata yang terkenal di kota Semarang. Bangunan yang di bangun pada tahun 1904 ini dahulunya merupakan kantor dari Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij dan merupakan saksi bisu pada pertempuran hebat antara Angkatan Muda Kereta Api melawan Kempetai dan Kidobutai, Jepang. Untuk itu, bangunan kuno yang di juluki seribu pintu ini mempunyai nilai sejarah tinggi yang patut dilindungi.  
Setelah puas mengamati bangunan yang memiliki banyak jendela lebar nan tinggi, perjalanan berlanjut dengan mengunjungi Klenteng Sam Po. Bangunan yang di dominasi oleh warna merah ini merupakan tempat persinggahan Sam Po Tay Djien, Laksamana Tiongkok yang beragama islam. Klenteng Sam Po bercirikan keislaman, hal ini di buktikan dengan temuan tulisan yang berbunyi ‘mari kita mengheningkan cipta dengan mendengarkan Al-Quran’.
            Saat matahari tepat di atas kepala, Kami telah sampai di tempat wisata yang terakhir, yakni Taman Budaya Raden Saleh. Sebagian besar lokasi taman ini masih berkontur tanah. Banyak pohon yang tumbuh di tempat ini. Meskipun begitu, aura seni bisa Aku rasakan ketika menatap coretan-coretan pada tembok. Gambaran yang berisikan pesan untuk siapa saja yang melihatnya.
            Berencana ingin melihat patung Raden Saleh, Aku tersenyum menatap Lisa, Windi dan Fauziah yang bergembira di samping patung itu. Antusias mengambil gambar dengan berbagai pose. Aku hanya menatap Mereka dari sini, bersandar pada tembok yang terlukis. Tak ingin berusaha mendekat. Sudah cukup mengekori Mereka kesana-kemari sejak dimulai perjalanan mengelilingi kota Semarang. Dari awal, ketika keluar dari kamar dan menemukan Annisa berdiri seorang diri di bawah pohon mahoni. Aku telah memutuskan untuk selalu berada di dekat Mereka bertiga selama perjalanan. Bersuka ria bersama. Jika menemumukan ke bersamaan antara Annisa dan Fathul secara tak sengaja oleh mataku. Aku merasa keputusanku telah benar. Ada hal yang mengganjal di hati jika melihat mereka bersama. Seperti….
            “Aya!” seru Fauziah berserta lambaian tangannya. Aku tersenyum dan berjalan mendekat. Menerima rangkulan dari Lisa dan Windi, kemudian memfokuskan mata pada lensa kamera. Sebelum suara jepretan terdengar, Aku merasakan ujung bibirku telah tertarik sampai ke mata. Senyuman lebar yang membuat sipit mata. Dan perlahan luntur saat menemukan dua buah punggung yang familiar. Mereka yang sedang melihat coretan tembok. Coretan yang sebelumnya Aku amati.
            Seperti merasa iri.
***
            Jika terbelit masalah, jalan termudah adalah melarikan diri. Bertingkah seperti pengecut, namun ada kalanya Kita harus menghindar. Memberikan waktu untuk sendiri. Meluangkan banyak waktu untuk sekedar berfikir. Dan menunggu lebih lama untuk menghimpun kekuatan. Ketika waktu telah tiba, dimana Kita memperoleh sebuah momentum. Maka Kita akan menyadari,  banyak hal yang telah Kita pelajari saat fase ‘melarikan diri’.
            Delapan puluh dua, delapan puluh tiga, delapan puluh empat daun jatuh. Beberapa dahan bergoyang di terpa angin. Kuningnya daun perlahan gugur. Seratus satu,…
            “Seratus dua” Lanjut hitungan yang di serukan seseorang. Hitunganku terhenti saat fokus sang mata meniggalkan dahan. Berjarak lima meter dari tempatku duduk, Yadi berdiri dengan cengiran lebarnya. Tahu jika fokus mataku telah sempurna menatapnya, Ia mulai melangkah mendekat. Bokongku bergeser ke kiri memberi ruang untuk Ia duduk.
            “Tak pernah berubah ya?” Yadi bertanya setelah Ia duduk. Kedua mataku mengikuti arah matanya menatap, yakni pada dahan tanpa cabang. 
            “Dan kau selalu tahu pada berapa hitunganku” Aku tersenyum mengingatnya.
            “Hahaha… Aku pikir semua orang juga akan tahu” Yadi tertawa “Kau menghitungnya seperti ini” Aku menyerngit menatap Yadi yang sedang mencebikkan bibirnya. Menirukan sesuatu. Sebelum bibirnya terkatup, erangan kesakitan keluar dari mulutnya. Aku menyeringai. 
            “Dan kebiasaan ini juga tidak pernah berubah” katanya sambil mengaduh dengan pandangan mata mengarah ke lengan kirinya. Dimana jari dan jempolku menempel erat pada kulit bagian tubuh itu. Sebuah cubitan. 
            “Karena kau selalu menyebalkan” Melipat tangan kedada, Aku mulai menggerutu.
            “Maaf… Maaf” Yadi berucap dengan nada memelas. Aku mengabaikan Dia dan lebih memilih menatap beberapa teman yang sedang duduk menggerombol di teras gedung Ki Narto Sabdo. Duduk menggerumungi seorang siswa laki-laki yang sedang bermain gitar. Petikan petikan nada yang bersambut dengan iringan lagu.
            “Akan tetapi, senang rasanya mengetahui bahwa tidak ada yang berubah. Aneh sekali  jika harus bersikap saling asing padahal bertahun-tahun selalu bersama” Yadi berkata ketika lagu mencapai puncaknya. Sewaktu kecil, hubungan pertemanan Kami cukup akrab. Sering bermain bersama. Namun seiring bertambahnya usia dan tumbuhnya sikap dewasa, hubungan Kami menjadi asing satu sama lain. Semilir lirik lagu masih terdengar. Mereka bernyanyi sambil tepuk tangan pelan dan menggerakkan kepala ke kiri-kanan. Sejenak Aku terlarut dalam kegembiraan itu dan tanpa sadar mengetukkan jari yang kini bertumpu pada kursi.
            “Ayo kesana!” Tersentak saat mendapat tarikan ke arah depan. Yadi telah berdiri tanpa Aku sadari. Tangan kanannya menyeret tangan kiriku sehingga kini Aku telah berdiri.
            “Kemana?” Aku bertanya.
            “Kesana” ia mengerakkan dagunya kearah pertunjukan musik yang Aku lihat tadi.
            “Tidak” tolakku. Memberontak saat Ia mulai menyeretku kesana.
            “Kenapa?”
            “Mereka temanmu” Aku beralasan. Ia berhenti berjalan dan menatapku dengan tajam.
            “Kita semua berteman. Meskipun hanya bertemu dalam tour ini” Ia berucap dengan tajam. Tidak setuju dengan alasan yang Aku kemukakan. Aku mengalihkan pandangan kedepan. Melirik sekilas pada gerombolan itu yang masih bernyanyi namun dengan lagu yang berbeda. Aku menghela nafas panjang. Sejujurnya enggan sekali bergabung. Tidak bisakah menikmati dari jarak jauh saja, ingin sekali berucap  seperti itu. Namun kalimat itu tidak juga keluar dari mulutku, entah tersangkut dimana. Keheningan melanda Kami. Yadi tak berniat menyeretku lagi sebelum mendapat persetujuan dariku.
            “Apa ada masalah?” Alunan lembut pertanyaan itu menghancurkan ketegangan Kami. Serentak menolehkan kepala dimana sumber suara itu berasal. Di sana, di samping kiri, tidak jauh dari Kami berdiri. Annisa berjalan menuju kearah Kami, di ikuti Fathul yang berada di belakangnya.  Annisa menatap  pada tautan tangan Kami dengan dahi mengkerut.
            “Oh.. Tidak ada apa-apa. Hanya sedikit berdebat” ucap Yadi memberikan jawaban.
            “Benarkah?” Annisa menatap kearahku dengan nada kurang puas.
            “Tentu saja” jawab Yadi dengan cepat “Jika ada masalah serius, tentu Kami akan melapor pada kalian. Bukankah begitu ketua?” katanya kemudian. Seseorang yang di sebut Ketua tidak berkomentar. Ketidaktahuan akan siapa yang di sebut ketua oleh Yadi membuatku seperti orang bodoh. Terpaku dan berdiam diri.
            “Jika tidak ada hal lain lagi, Kami pamit pergi” Yadi menyeretku kembali. Namun kini Aku tidak berusaha untuk memberontak. Pasrah kemana Yadi membawaku pergi. Melangkah menjauh seperti orang linglung namun benakku terus berfikir. Tentang siapa ketua yang dimaksud. Kemudian bagaimana bisa mereka terus bersama sepanjang hari. Dan yang paling mengganggu, kenapa dia memandangku dengan ekspresi seperti itu.
***
            Aku sudah berada di dalam bus
            Pesan itu Aku kirimkan ke Windi. Tidak ingin membuatnya panik karena Aku telah meninggalkan kamar lebih dulu. Setidaknya dengan mengirimkan pesan, Mereka tidak mencariku karena tidak menemukanku di kamar. Dan di subuh ini kami bersiap meninggalkan kota Semarang.
Udara saat ini jauh terasa lebih dingin di bandingkan dengan malam hari. Untung AC dalam bus di biarkan mati, sehingga Aku tidak perlu memakai sweter. Hanya ada Aku dan dua siswa di dalam bus ini. Pak Sopir menunggu di luar sambil menyulutkan sebatang rokok. Sebagian asap rokok masuk ke dalam bus melalui celah jandela terbuka. Bau tembakaunya samar-samar tercium oleh hidungku. Meskipun bau namun Aku tidak terganggu.
Pak Yusuf memasuki bus lima menit setelah Pak Sopir menghabiskan batang rakok yang kedua. Beliau mengecek keadaan di dalam bus sebentar kemudian keluar lagi. Berjalan ke dalam asrama untuk mengomando teman yang lainnya untuk segera bergegas. Dan embun yang terdapat di permukaan jendela menarik perhatianku selama menunggu.
Tidak ada hal istiwewa yang terjadi pada malam terakhir di kota Semarang. Waktu yang tersisa, Aku gunakan untuk berfikir dan merenung. Melewatkan ajakan Lisa untuk melihat-lihat Asrama Haji Manyaran lebih dalam. Bukannya tak berminat, namun Aku mencoba menghindar dari orang-orang. Tak terkecuali Lisa, Windi, Fauziah ataupun Yadi. Enggan menampakkan wajah kacauku lebih lama di hadapan mereka. Kacau dikarenakan bagaimana ekspresi wajah Fathul di Taman Budaya Raden Saleh di siang itu. Terngiang di benak dan begitu mengganjal di hati. Menarik nafas lagi dengan pelan jika teringat.
Satu persatu dari siswa-siswi memasuki Bus. Beberapa telah memenduduki kursi termasuk Lisa, Fauziah dan Windi. Mereka duduk terpisah. Aku tidak melihat kapan Mereka masuk. Mungkin saat sedang sibuk melamun sehingga Aku tidak menyadari kedatangan Mereka. Akhir-akhir ini, melamun adalah hal yang sering aku lakukan.  Masih menatap pintu bus, Aku melihat Ibu Eni kesusahan mengangkat koper besarnya. Kesusahan itu tak berlangsung lama ketika seseorang mengangkat koper besar itu dan memasukannya ke dalam bus. Saat wajah orang itu menjelajah ke dalam bus dan menemukan manik mataku. Jantungku mulai berdebar. Berdebar semakin keras ketika orang itu berjalan ke arahku tanpa melepaskan pandangannya. Panik ingin menghindar namun kepalaku enggan menoleh. Akhirnya hanya bisa menunggu bagaimana Ia perlahan mendekat.
“Hanya ingin mengambil piagamku” orang itu berkata kepadaku. Tanpa ada basa-basi. Namun pemilihan kata ‘hanya’ begitu mengganggu telingaku. Seolah setelah ini semua akan berakhir.
Aku membuka resleting tas coklatku secara perlahan. Berharap Ia akan berkata sesuatu. Namun orang itu hanya diam. Bahkan setelah memegang piagamnya dan berlalu, Ia juga tidak mengatakan apa-apa. Dalam diam, Aku memperhatikan punggungnya yang perlahan menjauh. Punggung yang membuatku jatuh cinta. Ketika punggung itu telah berhenti dan mulai di tutupi sandaran kursi, Aku memejamkan mataku dengan erat. Menyadari dengan siapa punggung itu duduk bersandingan. Annisa.
Saat kedua mataku terbuka, Aku sadar semua telah berakhir. Beberapa hal telah berubah. Bus telah berganti. Tidak ada stiker lumba-lumba di depan kaca pengemudi. Meskipun terasa lapang namun Aku merindukan bus kecil yang telah  mengelilingi bundaran air mancur sebanyak empat kali. Dan meskipun belum meninggalkan kota Semarang namun Aku telah merindu pada moment saat pertama kali tiba.
***

Kita bisa melihat masa lalu dengan jelas
Namun cukup berpuas diri dalam meraba masa depan
Tak hanya satu kali kita mengeluh
Seperti…
Bagaimana kenangan itu begitu membekas
Dan hanya berakhir seperti ini

Kemudian…
Tanyalah pada hatimu
Adilkah?
Jika semua yang kau ingat
Hanyalah sebatas memori
Namun jika tak merasa adil
Lantas mengapa kau terus mengingat

***

0 Response to "SEBATAS MEMORI "

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel